DISUSUN OLEH :
NAMA : M.ROBIANNOR
NIM : 303.10.10.122
STIMI
Sekolah tinggi ilmu manjamen
Indonesia
Banjarmasin
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan
kas Negara Yang
Digunakan Untuk pembangunan Dengan Tujuan Akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam
perkembangan kesejahteraan bangsa.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan
pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri.
Pemerintah telah
memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk
membayar pajak bahkan tidak
sedikit yang cenderung menghindari
kewajiban tersebut.1 Hal ini
mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan
daya pemaksa bagi para wajib
pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan.
Keberadaan lembaga ini masih
kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga
paksa badan merupakan hal
yang berlebihan. Di
lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan
untuk memberikan efek jera yang
potensial dalam menghadapi wajib pajak
yang nakal.2
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan
telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah
sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak
menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih
merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolaholah Pengadilan Pajak, yang
hanya berkedudukan di Jakarta, itu
berada di luar kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14
Tahun 1970) sebagaimana
telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004)
BAB II
PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN SENGKETANYA
2.1 Dasar-dasar Hukum Perpajakan
Pajak
merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan
kemandirian keuangan negara,
meningkatkan tingkat keadilan, serta
progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.3 Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). -Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun
1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak. Sebelum dibentuk dan diberlakukannya
UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan
pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”.
Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan
merata yang meliputi subyek maupun obyek perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b. Harus ada kepastian hukum mengenai
pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya, aritinya pada saat orang memiliki uang (asa conveniency
dan efisiensi).5 Selanjutnya,
sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku
sebagai undang-undang pajak nasional, asas perpajakan
yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti
di bawah ini.
a. Kesederhanaan (simplification
of law) Bahwa
undang-undang tentang perpajakan agar
disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya
kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena negara sudah memberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya
sendiri. Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self assessment.
d. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e. Kepastian dan jaminan hukum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan
bersalah apabila belum ada
bukti-bukti nyata.6
2.2 Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya
Adanya kewajiban bagi
masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak
berbanding lurus dengan tingkat
kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut.
Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan. Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh
pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga
penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian
sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van
het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad
1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan
Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak
daerah.7 Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum
dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983
mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang
berbunyi sebagai berikut. “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”8 Selanjutnya, ayat (2)
pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut. “Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha
Seiring
berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin
meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah
tidak memadai dalam melakukan penyelesaian
sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah
merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang
perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk
melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak
dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan
undang-undang bidang perpajakan serta memberikan
putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan
lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan ketentuan di
dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
semua pihak. Maka,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997
dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah
sebagai berikut.
a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus
sengketa pajak berupa:
1. banding
terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang
berwenang;
2. gugatan
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan di bidang penagihan.
b. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam
undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk
mendapatkan keadilan pengenaan
pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur
sebagai berikut.
a. Jalur keberatan pajak dan banding ke BPSP.
b. Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c. Jalur melalui peradilan umum. Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya
untuk menyelesaikan sengketa administratif,
yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi,
bukan mengenai pidana pajak. Walaupun tidak
bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970,
BPSP pada kenyataannya belum merupakan badan
peradilan yang berpuncak di Mahkamah
Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan
pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian
hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak. Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik
Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu
“Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak
atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak
BAB III
KETENTUAN, KOMPETENSI, DAN PELAKSANAAN PENGADILAN PAJAK
3.1 Dasar Hukum Pengadilan Pajak
Sebagaimana
diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan
Pajak dibentuk melalui UU Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga
ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara
mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang
ini menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti
di bawah ini. “Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”13 Pengadilan
pajak merupakan pengadilan tingkat pertama
sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak. Pasal 31 menjelaskan sebagai berikut.
(1) Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa
pajak.
(2) Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pengadilan pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.14 Selain yang tercantum dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak juga mempunyai kewenangan
lainnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 32 yang berbunyi
sebagai berikut.
(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak
mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
Ketua Pengadilan Pajak
juga berwenang memanggil pihak
ketiga untuk keperluan pemeriksaan
sebagaimana
diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yang bunyinya
seperti di bawah ini. “Untuk
keperluan pemeriksaan sengketa pajak, Pengadilan
Pajak dapat memanggil atau meminta data atau
keterangan yang berkaitan dengan sengketa pajak
dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”16 Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa
dan memutus sengketa pajak meliputi semua jenis
sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat,
termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut
oleh
Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Pada bagian Penjelasan UU Nomor 14 Tahun 2002, diuraikan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam ketentuan tersebut bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kekhususan Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut.
1. Sidang peradilan pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal
tertentu dam khusus guna menjaga kepentingan pemohon banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.
2. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim khusus yang mempunyai
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
3. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan
Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibat jenis
putusan Pengadilan Pajak, di samping
jenisjenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.17
Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur pula hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Perihal hukum acara ini diatur dalam Bab IV tentang Hukum Acara.
3.2 Pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia
Lahirnya UU
Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan adanya
dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak berada
di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor
14 Tahun 1970. Namun, hal tersebut dapat ditepis
karena UU Nomor 14 Tahun 2002 secara jelas
menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman di bidang pemeriksaan
dan pemutusan sengketa di bidang perpajakan.
Kasus sengketa pajak yang sampai pada tingkat kasasi
menjadi kompetensi dari Ketua Muda Mahkamah Agung
Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.18 Sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002
yang menyatakan bahwa, “Dengan undangundang ini dibentuk
Pengadilan Pajak yang
berkedudukan di ibukota Negara,” maka
Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Sama
halnya dengan Tax Court di Amerika Serikat, yang hanya berkedudukan di Washington D.C. sebagai ibukota negara tersebut. Hal ini berlaku pula di lembaga peradilan pajak di negara-negara lainnya. Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in
persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam
Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu
berupa laporan keuangan, rekening bank, data
transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya. Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, “Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain.” 19 Sementara
tempat
sidang yang dimaksud dalam pasal tersebut
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan demikian, sebagai
contoh, bagi wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di
Makassar, Majelis Sidang
Pengadilan Pajak dapat bersidang di kota tersebut. Pelaksanaan Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan lancar. Pada September 2004, seorang pengusaha mengajukan permohonan uji materiil atau judicial
review atas UU Nomor 14 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa dirugikan oleh beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa pasal ia anggap bertentangan dengan UUD 1945.
.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat
disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
a. Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia
yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU Nomor 6 Tahun 1983) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
b. Sejak 1959, pemerintah telah memiliki
badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan
Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan
kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.
c. Pelaksanaan Pengadilan Pajak sebagai
sebuah badan peradilan sengketa pajak yang
independen belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi
landasan Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak. Selain itu, beberapa pasal juga dikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945.
4.2 Saran
Pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan harus tidak
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pada
pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah. Lembaga
pembuat undang-undang harus memberikan tafsiran yang
jelas atas undang-undang yang dibuatnya
untuk menghindari terjadinya multitafsir oleh
masyarakat dalam memahami beberapa pasal dalam undang-undang. Rekomendasi yang diberikan oleh para hakim konstitusi dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengoreksi
aturan-aturan yang telah ada mengenai perpajakan,
khususnya Pengadilan Pajak. Dengan demikian,
pembahasan RUU perpajakan yang baru dapat menghasilkan
sebuah produk undang-undang yang berkualitas,
mempunyai kepastian hukum, dan sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Handoko, Rukiah. Pengantar
Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2000.
_______. Eksistensi dan
Kompetensi Pengadilan Pajak.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Bidang Kajian Hukum Pajak, 2003. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945. Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan
Tata Cara Perpajakan, No. 9 Tahun
1994, LN No. 59 tahun 1994, TLN No. 3566. Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002. “'Korban' Pengadilan Pajak Ajukan Judicial
Review ke MK.” <http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=1007 3&cl=Berita>. 7 April 2004. MaPPI FHUI.
“Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak.” <http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id =205&tipe=kolom>.
15 Maret 2005. “Pengawasan
terhadap Hakim-hakim Pengadilan Pajak Belum Berjalan.” <http://www.hukumonline.com/detail.asp?id =11117&cl=
Berita>. 8 September 2004. “Undang-Undang Pengadilan Pajak Harus Direvisi.” <http:// www.kanwilpajakwpbesar.go.id/berita.php?cmd=detail&i
d=20041215135500>. 14 Desember 2004.